Pendidikan

PROHIBITION OF RIBA IN ISLAM

Relawan Komunitas Muda Inspirasi

Oleh Admin | 24 June 2025

6

Secara bahasa, “riba” atau “رَبَا - يَرْبُو” yang berarti "bertambah" atau "meningkat." Secara istilah dalam fikih Islam, riba berarti pengambilan tambahan atau keuntungan yang tidak sah dalam transaksi utang-piutang atau jual beli yang tidak sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Islam secara tegas mengharamkan riba karena dianggap sebagai bentuk ketidakadilan, penindasan ekonomi, dan eksploitasi terhadap sesama. Riba menimbulkan ketimpangan sosial dan menjauhkan umat dari keadilan yang menjadi inti syariat Islam. Salah satu dalil yang paling tegas adalah firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 275: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila... Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Allah menyatakan perang terhadap orang yang tetap melakukan praktik riba setelah datang penjelasan. Dalam QS. Al-Baqarah: 278-279 telah disampaikan bahwa: "Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut, jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu...". dalam (HR.Muslim) Rasulullah SAW bersabda bahwa: "Allah melaknat pemakan riba, pemberi riba, pencatatnya, dan dua saksinya." Hal ini menunjukkan bahwa bukan hanya pelaku utama, tetapi semua yang terlibat dalam transaksi riba turut berdosa.


Riba dilarang keras dikarenakan:

- Menindas pihak yang lemah.

- Menumbuhkan sifat serakah.

- Menghambat ekonomi yang sehat.

- Merusak solidaritas sosial dan keadilan ekonomi.


Dalam Islam, ulama membagi riba menjadi dua kategori utama yaitu Riba Fadhl (riba dalam pertukaran) dan juga Riba Nasiah (riba dalam penangguhan atau tambahan waktu). Riba Fadhl dapat terjadi dalam hal pertukaran barang sejenis dengan jumlah atau kualitas yang tidak setara, seperti menukar 1 gram emas murni dengan 1,2 gram emas kualitas rendah dalam waktu yang sama. Adapun Riba Nasiah dapat terjadi jika ada tambahan karena penundaan pembayaran dalam utang piutang, seperti memberi pinjaman Rp1.000.000 dan meminta pengembalian Rp1.200.000 setelah satu bulan. Ini adalah praktik riba yang terjadi pada masa jahiliyah, di mana pemberi utang akan berkata: "Lunasi utangmu sekarang atau tambah jumlahnya”. Islam melarang bentuk ini secara tegas karena sangat menindas. Riba memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Si kaya menjadi semakin kaya karena mendapatkan keuntungan tanpa usaha, sedangkan si miskin terbebani oleh bunga utang. Dalam skala besar, riba menciptakan sistem ekonomi yang tidak stabil dan rentan krisis. Hal ini terlihat dalam sistem keuangan global yang sering mengalami gelembung ekonomi akibat bunga berbunga. Riba tidak menghasilkan nilai tambah nyata. Sedangkan jual beli adalah pertukaran barang atau jasa secara sah dan saling ridha. Jual beli mendorong produksi dan pertumbuhan ekonomi. Islam menganjurkan **qard hasan**, yaitu pinjaman tanpa bunga, sebagai bentuk tolong-menolong dan solidaritas sosial. Pemberi utang tidak boleh mengambil keuntungan kecuali dalam bentuk pahala dari Allah.


Islam membangun sistem ekonomi tanpa riba melalui:

- Bagi hasil (mudharabah, musyarakah)

- Akad jual beli (murabahah)

- Sewa menyewa (ijarah)

- Wakaf dan zakat sebagai penggerak keadilan sosial


Di era modern, banyak negara membentuk “bank syariah” dan lembaga keuangan Islam untuk menyediakan layanan perbankan tanpa riba. Contohnya Bank Muamalat, BSI, BMT, dan koperasi syariah. Bunga bank konvensional dinilai riba karena bersifat tetap dan tidak memperhatikan untung rugi. Dalam Islam, keuntungan didasarkan pada hasil usaha, bukan penambahan nominal karena waktu. Mayoritas ulama kontemporer, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), memfatwakan bahwa bunga bank termasuk riba dan haram. Namun ada pendapat minoritas yang masih membolehkan dalam kondisi darurat atau terbatas. Dalam era digital, bentuk riba juga dapat terjadi pada pinjaman online, cicilan berbunga, hingga sistem kredit berbunga tetap. Umat Islam dianjurkan lebih selektif dan memahami akad syariah dengan baik. Alternatif dari kredit berbunga adalah “akad murabahah” (jual beli dengan margin keuntungan), “ijarah” (sewa guna usaha), dan “musyarakah” (kerjasama modal). Semua ini menghindari riba dan berbasis keadilan. Pendidikan ekonomi syariah penting diberikan sejak dini, agar masyarakat memahami bahaya riba dan memilih transaksi yang sesuai dengan syariat. Menjauhi riba adalah bentuk ketakwaan pribadi. Meskipun mungkin ada keuntungan duniawi, seorang Muslim yakin bahwa berkah dan rezeki sejati hanya datang dari Allah, bukan dari keuntungan haram. Allah membuka pintu taubat bagi pelaku riba yang berhenti dan kembali ke jalan yang benar. Islam tidak langsung menghukum orang yang bertaubat, tapi menyuruhnya untuk memperbaiki keadaan. Riba memberi tambahan uang secara nominal, tetapi menghilangkan “berkah” dalam harta. Harta yang haram tidak akan membawa ketenangan dan keberkahan hidup. Riba adalah dosa besar yang mendapat ancaman keras dalam Islam. Dalam membangun masyarakat yang adil dan beretika, menjauhi riba menjadi salah satu pilar penting. Umat Islam dituntut untuk mencari rezeki dengan cara yang halal, penuh keberkahan, dan tidak menyengsarakan orang lain. Pilihan hidup tanpa riba adalah bentuk pengabdian kepada Allah sekaligus upaya mewujudkan sistem ekonomi yang berkeadilan.